Kecerdasan Majemuk
(Multiple Intelligences)
Dulu kecerdasan dan kesuksesan seseorang diukur dari IQ-nya. Siswa yang memiliki IQ tinggi diyakini sebagai anak cerdas, sedangkan yang ber-IQ rendah otomatis dicap bodoh. Kenyataannya, banyak orang dicap tidak pandai malah lebih sukses dalam karir dan profesinya , mengalahkan teman-temannya yang ber-IQ lebih tinggi.
Tahun 1983 Howard Gardner, seorang profesor psikolog, menulis buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Saya membeli bukunya 15 tahun lalu. Ia menyatakan bahwa kecerdasan bukanlah kemampuan tunggal melainkan beberapa kemampuan intelektual yang relatif tak terkait satu sama lain. Menurutnya ada beberapa jenis kecerdasan :
Jadi teringat murid saya di kelas yang selalu mengantuk tetapi kadang berisik. Saya suruh dia berjalan keliling kelas (bergerak) selama pembelajaran. Dia suka sekali. Dia tidak bisa belajar kalau hanya duduk diam saja. Karena kebanyakan anak laki-laki adalah pembelajar kinestetik. Mengajar di SMK yang sekelas laki-laki semua sungguh harus kreatif.
Untuk menenangkan anak-anak seperti ini, kadang saya ajak mereka bermeditasi sebentar di kelas untuk menenangkan diri, sambil diiringi musik menenangkan. Mereka sangat suka.
Setiap orang memiliki kombinasi kecerdasan yang berlainan satu sama lain. Namun, kenyataannya, orang tua dan guru belum memaksimalkan berbagai tipe kecerdasan tersebut. Sistem pendidikan formal terkesan masih menyamaratakan kecerdasan.
Tidak sedikit anak istimewa jadi korban sistem sekolah yang hanya mengukur kecerdasan bahasa dan logika matematika. Anak kinestetik tentu akan sulit disuruh duduk diam saja mendengarkan guru. Anak musikal akan kesulitan memahami angka-angka. Anak matematis akan kesulitan di pelajaran melukis, dst.
Ini seperti menyuruh ikan, burung dan monyet memanjat pohon. Yang berhasil diberi predikat ‘hebat’ tentu si monyet. Yang lain tidak akan mengeluarkan kemampuan memanjat, karena memang itu bukan tipe kecerdasannya. Sebaliknya jika monyet diuji berenang, tentu tidak akan lulus.
Jika anak menonjol pada kecerdasan bahasa, interpersonal, dan intrapersonal, namun sangat lemah di musik, spasial, kinestetik, dan logika matematika, bisa jadi ia tidak memiliki nilai bagus yang menonjol di rapot. Padahal kombinasi kecerdasan seperti ini, justru bisa sangat sukses di bidang yang tak terpikirkan saat sekolah seperti misalnya di bidang penjualan atau bisnis.
Teori Gardner ini mengajak pendidik dan orang tua untuk lebih memperhatikan anak sesuai keunggulan unik masing-masing. Tidak ada lagi anak bodoh, sebab yang lemah di satu atau dua jenis kecerdasan mungkin sangat istimewa pada jenis-jenis kecerdasan yang lain.
Kisah Michael Ifianto, seorang industrial designer, bisa dijadikan contoh. Ketika sekolah, bahkan ia tidak dinaikkan kelas oleh gurunya. Ia harus pindah sekolah. Guru BP memintanya untuk fokus lulus saja, tidak perlu mengejar nilai. Ia bisa fokus dengan hobinya menggambar. Setelah lulus SMA, ia kuliah S1 jurusan desain komunikasi visual (DKV), dan S2 di Italia. Ia mendapatkan banyak sekali tawaran pekerjaan dari perusahaan internasional. Sekarang ia dosen dan memiliki sendiri bisnis design industri di Surabaya.
Test kecerdasan bukan segala-galanya. Tes IQ dan test kecerdasan majemuk, bukanlah penentu tunggal bagaimana masa depan dan kesuksesan seseorang. Ada banyak variabel yang menentukan kesuksesan, seperti hardskill (keahlian) dan softskill (moral, etika, komunikasi, kepemimpinan, kegigihan, problem solving, percaya diri), kesempatan, lingkungan yang mendukung dll.
Orang tua dan pendidik harus memahami kecerdasan anak, memberinya kesempatan untuk mengembangkan tipe kecerdasan tersebut dan tentunya menciptakan lingkungan yang mendukung bagi kesuksesannya. Tak perlu membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain. Cintai saja anak sebagaimana adanya dia.
Silakan berikan komentar Anda!